ini ada salah satu kisah nyata cerita mistis yang anda boleh percaya boleh
tidak..
Dingin, aku merapatkan jaketku. Entah sudah berapa batang rokok yang kuhabiskan
menunggu bis sialan ini. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 12
malam. Mataku sampai bosan melihat ke arah jembatan layang Janti. Sudah hampir
dua jam aku menunggu di sini, bener-bener brengsek, tak satupun bis yang mau
berhenti. Mana sendirian pula, jadi agak-agak merinding, campuran antara takut
ada preman kesasar sama aroma mistis malem Jumat Kliwon yang dikenal orang Jawa
sebagai malam keramat.
Dari arah barat kulihat sepeda motor melambat, nampaknya dia mau nunggu bis
juga. Yang dibonceng seorang pemuda gondrong dengan jaket bergambar lambang
salah satu perguruan tinggi di ringroad utara, dia turun sambil melepaskan
helmnya.
"Ati-ati dab!" Si pengendara motor muter balik sambil melambaikan
tangannya.
Lumayan, ada barengan di sini, minimal kalo sampe ada yang mau malak bisa kabur
ke arah berlainan biar premannya bingung mau ngejar yang mana.
Ndak usah ketawa, aku males berantem sama orang ndak mikir masa depan macem
preman jalanan, sedikit trauma juga gara-gara dulu waktu ribut sama preman
mereka seenaknya ngeluarin pisau. Lha siapapun yang kena kan pasti berurusan
sama polisi, dia mungkin mikirnya masuk tahanan ndak masalah, bisa makan
gratis. Kalo aku? Bisa digebuki bapakku!
"Mau pulang ke mana Mas?" Sapaku mencoba beramah tamah.
Blah! Sombong sekali mas satu ini, berapa kali aku menyapa tak sekalipun dia
menjawab, pura-pura gak denger, sok-sok sibuk ngliat arah datangnya bis di arah
jembatan layang. Ini mungkin yang pernah dibilang Simbah di kampung, wong Jowo
ilang Jowone, sudah ndak tau tata krama.
Untunglah tak berapa lama kemudian bisnya datang, Sumber Kencono, bis
legendaris jurusan Jogja-Surabaya, dan kali ini bisnya mau berhenti. Si Mas
gondrong naik duluan, eh lha kok aku baru naik satu kaki si bisnya udah jalan lagi,
bener-bener gak sopan! Tapi mungkin memang sudah jadi kebiasaan, karena jadwal
keberangkatan antar bis yang kadang cuma selisih 5 menit membuat mereka ndak
bisa berhenti lama-lama, kuatir mepet sama yang belakang.
Tumben baru sampe Janti saja bisnya sudah penuh, ada satu dua kursi yang
kapasitasnya tiga orang baru ditempati dua orang tapi penumpang yang di situ
gak ada yang menawarkan tempat duduk padaku. Lebih tepatnya mereka gak bereaksi
apapun saat aku permisi mau duduk. Blah! Makin lama makin keterlaluan
orang-orang ini, terbiasa hidup sendiri-sendiri mungkin, sudah hilang segala
macam ramah tamah yang konon dulu pernah jadi salah satu ciri orang sini.
Untung ada tiga kursi kosong di bangku paling belakang, tak perlu permisi, lega
juga, bisa naikin kaki, mungkin sambil klebas-klebus ngrokok untuk mengusir
bosan nanti. Peduli setan sama orang-orang bakal terganggu atau tidak, wong
mereka disapa gak menyahut, harusnya diganggu juga gak protes! Sekarang yang
penting merem dulu, kompensasi dari berdiri hampir dua jam waktu nunggu bis
tadi.
Bis sudah melaju sampai daerah Kalasan, biasanya di sini kondektur sudah narik
bayaran dari semua penumpang, tapi heran, kok dari tadi gak ada yang njawil
padahal duit sudah aku siapkan. Terserah lah, kalo nanti gak mbayar ya malah
bersukur tho.
Tunggu dulu, sunyi waktu naik bis di malam hari sudah biasa, tapi sepertinya
yang sekarang ini terlalu sunyi. Mungkin ada satu dua celoteh pelan terdengar,
tapi kenapa dari tadi ekspresi orang-orang ini terlalu datar? Lebih tepatnya
gak ada ekspresi yang tergambar di wajah. Bahkan orang di sebelahku pun seperti
gak merasakan kehadiranku.
Aku jadi sedikit merinding, dulu mbakyuku pernah bilang, kalo malem jangan
nunggu bis dari janti, lebih baik dari terminal saja karena konon ada bis hantu
yang suka ngambil penumpang di situ.
Bis hantu?
Iya, bis hantu. Selentingan kabar mengatakan bis ini mengalami kecelakaan parah
dan semua penumpangnya tewas, waktu kita naik itu semua penumpangnya berwajah
pucat dan tidak menghiraukan kehadiran kita. Konon kalo naik bis itu dari Jogja
bisa sampai ke Surabaya dalam waktu gak sampai tiga jam, tapi kalo lagi gak
beruntung bisa juga gak sampai Surabaya, kita malah dibawa ke alam
antah-berantah. Lebih celaka lagi katanya bis hantu itu Sumber Kencono yang
memang terkenal suka kebut-kebutan.
"Mas, Sampeyan mau turun mana?" Aku mencoba menyapa penumpang di
sebelah, sekaligus mengusir rasa penasaran, masa iya ada bis hantu.
Dia gak menjawab, lebih tepatnya bereaksi seperti semua orang yang dari tadi
kusapa, gak ada ekspresi. Ini mulai menakutkan. Kucoba menepuk bahunya agar dia
menanggapi sapaanku. Sial! Tanganku menembus bahunya! Dia tidak nyata, dia
bukan manusia!
"Pak! Kiri pak! Saya turun sini!" Teriakku panik, tapi mereka tetap
dingin tanpa ekspresi.
Sialan! Mungkinkah aku akan terbawa ke alam gaib seperti yang orang-orang
pernah ceritakan? Bulu kudukku merinding, badanku terasa dingin. Tapi percuma
panik sekarang, aku mencoba mengingat doa-doa yang diajarkan Simbah dulu, sial,
lupa semua!
Hampir tanpa sadar, aku meraih sebatang rokok, kunyalakan perlahan dan kuhisap
dalam-dalam untuk mengusir tegang.
"Cak, kok bisnya bau kemenyan?" Penumpang di sebelahku mendadak
menutup hidung, menatap lurus seakan menembusku dan bertanya pada kenek yang berdiri
di pintu belakang.
"Gak papa Mas, kadang memang suka tercium bau kemenyan. Katanya dulu di
Janti situ pernah ada penumpang lagi nunggu bis meninggal ditusuk waktu ribut
sama preman, kalo malem Jumat Kliwon kayak sekarang ini katanya dia suka ikut
naik bis. Kasian, mungkin matinya gak tenang."
Aku termangu, dan bis terus melaju....
By: Dari Berbagai Sumber