Sunday 11 September 2011

SENI DAN BUDAYA PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM ( Karya Tulis )


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Adapun penyusunan karya tulis ini, penulis mengadakan observasi di TMII yang terletak di Jakarta, adapun yang kami observasi “SENI DAN BUDAYA PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM”
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana provinsi lainya di Indonesia merupakan salah satu daerah yang kaya akan kebudayaan. Keanekaragaman seni dan budaya provinsi ini memberikan daya tarik tersendiri.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui observasi tersebut penulis mempunyai beberapa alasan sebagai berikut:
  1. Dapat menambah pengetahuan dan menambah wawasan
  2. Diupayakan agar lebih dikenal dikalangan maysarakat luas
  3. Ingin lebih mengetahui tentang daerah wilayah tersebut

1.2  Penjelasan Judul
Secara singkat penulis akan menerangkan pengertian judul, yaitu “Seni dan Budaya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”
a)      Seni adalah suatu yang indah yang di hasilkan manusia, penghayatan manusia melalui penglihatan, pendengaran dan perasaan.
b)      Budaya adalah hasil karya, cipta dan rasa manusia yang bersifat keindahan peradaban.
c)      Provinsi yaitu suatau wilayah atau daerah yang dikepalai oleh gubernur.
d)      Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), adalah sebuah provinsi yang terletak di pulau Sumatra dan merupakan Provinsi paling barat di Indonesia.


1.3  Alasan Memilih Judul
Karya tulis yang berjudul “Seni dan Budaya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” dibuat dengan alasan:
a)      Penulis ingin lebih megenal keanekaragaman seni dan budaya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
b)      Karna penulis berpendapat bahwa kita sebagai mahluk hidup bermasyarakat perlu memahami arti kebudayaan, karena apabila kita memahami arti kebudayaan, maka kita akan mudah untuk megembangkan budaya yang ada di daerah kita.

1.4  Rumusan Masalah
a)      Bagaimana kebudayaan masyarakat  provinsi NAD?
b)      Bagaimana karya  seni di provinsi NAD?
c)      Bagaimana corak sosial budaya masyarakat Aceh?

1.5  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis mempunyai tujuan antara lain:
a)      Tujuan umum, yaitu untuk salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Sekolah/Ujian Akhir Nasional tahun pelajaran 2009/2010
b)      Tujuan khusus, yaitu untuk dapat megetahui dan menemukan data yang akurat mengenai berbagai macam seni dan kebudayaan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Penyusunan karya tulis ini mempunyai kegunaan antara lain:
a)      Secara Teoristis
-   Sebagai pengetahuan khususnya perihal keragaman budaya
-   Guna memperluas wawasan dan pengetahuan
c)      Secara Praktis
-   guna menambah pengetahuan sejarah tentang perjalanan bangsa Indonesia
-   Dapat menggali kreatifitas penulis/siswa
1.6  Ruang Lingkup Penelitian
KARAGAMAN SENI DAN BUDAYA PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
  1. Budaya
  2. Kesenian

1.7  Metode Pengumpulan Data
Metode yang penulis gunakan untuk mendapatkan informasi dalam rangka penelitian ini sehingga dapat dijadikan pertimbangan yang kuat dan lebih memuaskan diantaranya:
  1. Metode Observasi
Pengertian metode observasi: “penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan terhadap objek, baik secara langsung maupun tidak langsung.”
Metode penelitian secara langsung, meskipun penulis tidak dapat tetrjun di daerah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam namun penulis datang ke TMII dimana terdapat berbagai macam seni dan budaya yang digambarkan sama persis seperti aslinya dalam hal apapun.
  1. Metode Interview
Pengertian metode interview: “sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (Interviewere) untuk memperoleh data dari terwawancara.”
Penulis mengadakan tanya jawab langsung dengan rekan kerja TMII disana, dan hasil wawancara tersebut direkam.


  1. Metode Dokumentasi
Pengertian metode dokumentasi: “suatu yang memberikan bukti-bukti, dipergunakan sebagai alat pembuktian atau bahan untuk mendukung suatu keterangan, penjelasan atau argumentasi dan dipergunakan pula dalam arti naskah-naskah.”
Penulis mengumpulkan bahan-bahan yang sudah dirancang, kemudian diuraikan dalam bentuk tulisan sebagai penyusunan karya tulis.

1.8  Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis menggunakan cara sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Penjelasan Judul
1.3  Alasan Memilih Judul
1.4  Rumusan Masalah
1.5  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.6  Ruang Lingkup Penelitian
1.7  Metode Pengumpulan data
1.8  Sistematika Penulisan

BAB II LANDASAN TEORI
2.1  Profil Anjungan Nanngroe Aceh Darussalam
2.2  Porfil Daerah Nanngroe Aceh Darussalam
2.3  Letak Geografis

BAB III PEMBAHASAN
3.1  Budaya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
3.2  Karya Seni di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
3.3  Corak Sosial Budaya Masyarakat Aceh

BAB IV PENUTUP
4.1  Kesimpulan
4.2  Saran
4.3  Penutup

LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR PUSTAKA


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Profil Anjungan Nanggroe Aceh Darussalam
Anjungan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menampilkan dua rumah adat sebagai bangunan induk, lumbung padi (krueng pade), penumbuk padi (jeungki), tempat kumpul (bale), langgar (meunasah), panggung pergelaran, pesawat Dakota RI 001 Suelawah, toko cenderamata, dan bangunan kantor.
Bangunan induk pertama adalah rumah adat Aceh Besar (rumoh Aceh), berupa rumah panggung 2,5 sampai 3 meter di atas tanah. Rumah ini terbuat dari kayu dan ditopang empat deret tiang kayu bulat yang berjarak sama sehingga membentuk segi empat. Salah satu ciri rumah adat Aceh adalah pintu yang berada di lantai rumah, dibuka ke atas, dan dihubungkan oleh tangga yang diletakkan di kolong rumah. Meskipun demikian ada yang membuat pintu menghadap ke halaman dengan tangga di pinggir lantai.
Bangunan ini dipergunakan sebagai ruang peragaan berbagai aspek budaya dan adat istiadat 18 kabupaten dan 5 kotamadya, antara lain pelaminan dengan motif sulaman khas Aceh, tempat tidur berkelambu, senjata tradisional, alat perlengkapan rumah tangga, alat penangkap ikan, kerajinan anyam-anyaman, dan foto dokumentasi perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda, termasuk para pahlawannya.
Bangunan induk kedua adalah rumah asli pahlawan wanita Aceh, Cut Meutia, yang dipindahkan dari tempat asalnya ke TMII; sampai sekarang rumah bersejarah ini masih anggun dan berdiri kokoh meski telah berumur 175 tahun.
Baik rumoh Aceh maupun rumah Cut Meutia beragam hias ukir tetumbuhan, seperti bungong meulu, bungong jeumpa, dan bungong mata uroe, pada dinding, pintu, tulak angin, jendela, dan beberapa bagian lainnya. Warna ukiran disesuaikan dengan warna dasar bangunan. Ukiran motif awan beriring (canek awan), lambang kesuburan, terdapat pada tangga, dinding, dan ruang tengah. Pada bagian atas pintu terdapat kaligrafi, sedangkan tulak angin dan dinding atas dengan ukiran keurawang bermotif sulur-suluran, selain untuk keindahan juga sebagai ventilasi. Kebanyakan ukiran hiasan rumah Aceh tidak mengandung lambang tertentu, melainkan sebagai unsur keindahan saja.
Pesawat terbang Dakota dengan nomor RI. 001 Seulawah, sumbangan rakyat Aceh sebagai bukti ikut dalam perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan, dipajang di halaman.
Panggung terbuka di sebelah kiri anjungan digunakan untuk pergelaran berbagai seni tradisional, seperti Saman dan Seudati, terutama pada hari Minggu dan libur. Sesekali kesenian langka, seperti Pe Em Toh, didatangkan langsung dari daerah; di samping duta seni dari daerah untuk peragaan upacara adat pada kegiatan Paket Acara Khusus yang biasanya berlangsung setahun sekali.
Anjungan NAD pernah dikunjungi beberapa tamu negara, seperti perdana menteri Selandia Baru, duta-duta besar Pakistan, Malaysia, Philipina, Muangthai, dan India.[1]
2.2 Profil Daerah Nenggroe Aceh Darussalam
Daerah Istimewa Aceh yang kini disebut dengan Nangroe Aceh Darussalaam terletak di sebelah ujung Utara pulau Sumatera dan merupakan wilayah paling Barat negara Republik Indonesia. Batasnya ialah: sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Barat dan Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah Timur berbatasan dengan propinsi Sumatra Utara.
Di tengah-tengah Daerah Istimewa Aceh membujur Bukit Barisan, gunung-gunung yang berhutan lebat, seakan-akan membagi wilayah ini menjadi dua bagian, sebelah Barat dan sebelah Timur. Dari hutan-hutannya dapat diperoleh hasil hutan seperti damar, terpentin dan lain-lain. Di bagian Timur lebih banyak tanaman perkebunan dan seperti kopi, tembaku, buah-buahan dan sebagainya serta persawahan padi. Sedangkan daerah Utara lebih dikenal dengan gas alam atau L.N.G. yang terdapat di Arun.
Penduduk Daerah Istimewa Aceh terdiri atas suku bangsa asli yakni suku bangsa Aceh yang terbagi dalam beberapa sub suku seperti : Gayo, Alas, Tamiang, Gayo Seumanah, Anek Jamee, Singkel dan lain-lain. Suku pendatang terdiri dari Jawa, Minangkabau, Palembang, Makasar, Sunda dan lain-lain, sedangkan bangsa asing pun banyak antara lain Arab, India, China dan orang-orang Eropah. Menurut mereka suku bangsa Aceh berasal dari Jazirah Arab, hal ini terlihat banyak suku bangsa Aceh yang bergelar Said, Habib dan sebagainya. Diperkirakan mereka mulai menetap di Aceh bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Aceh. Sedangkan yang berasal dari Gujarat (India), kebanyakan bermukim di pantai.
Pengaruh Islam nampak dengan berdirinya kerajaan Islam di Peureula dan Pasai yang kemudian corak kebudayaan Islam mewarnai kebudayaannya. Mata pencaharian pokok suku bangsa Aceh adalah bertani, terutama bertani sawah. Sebagai tempat menyimpan padi dibuat sebuah lumbung yang disebut keong pade atau keurandong. Pekerjaan bertani yang terdiri dari tahap-tahap pekerjaan, biasanya dilakukan dengan bergotong-royong yang disebut meuseuraya.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh terutama pada masa lampau adat tumbuh dengan kuat sesuai dengan prinsip yang hidup dalam masyarakat : Adat bak po teumerehnhorn, hukom bah syiah kuala, Kaaun bak putroe Phang, rensam bak laksamana . Beberapa peristiwa dalam kehidupan itu dipandang sakral atau suci, hingga perlu diperingati atau dirayakan secara adat, yang aturannya tak boleh dilanggar. Misalnya peristiwa kelahiran, peristiwa anak pertama kali turun tanah, cukur rambut, khitanan, perkawinan dan sebagainya. Semuanya dilakukan dengan mengadakan upacara adat setempat, dan upacara-upacara tersebut senantiasa menunjukan adanya unsur-unsur agama Islam. Hal ini tidak mengherankan karena masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Islam yang taat dan hampir semua penduduk asli beragama Islam, sesuai dengan sebutan bahwa daerah Aceh sebagai Serambi Mekah. Kehidupan keagamaan terlihat adanya meunasah (sekolah) dan meusujid (mesjid) yang terdapat di setiap kampung.
Kesenian yang berkembang pada suku bangsa Aceh antara lain seni sastra, baik lisan mupun tertulis berupa prosa dan pantun. Seni tari seperti tari Seudati yang sangat terkenal, tari Saman, tari Guel, tari Bungung Rampoe dan sebagainya, sedang seni suaranya, misalnya qasidah berzanji. Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.
Di daerah Aceh seni bangunan tradisionalnya berupa rumah adat yang disebut Rumoh Aceh . Menurut ukuran atau besarnya bangunan rumah Aceh ada beberapa macam yaitu rumah Lhee Rueng, rumah Anjong, rumah Liwong Rueng atau rumah dua inang, dan rumah lapan rueng. Selain berbeda besarnya jumlah ruangannya pun berbeda pula. Di samping bangunan rumah untuk tempat tinggal, beberapa bangunan lain yang terdapat di Aceh yaitu meunasah, meuseujid, Balai blang, Janmbo blang dan pondok pesantren atau Jedah


2.2 Letak Geografis
         Daerah provimsi NAD terletak di Pulau Sumatra. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, samudra Hindia di sebelah barat, selat malaka di sebelah timur, dan sumatra di sebelah tenggara dan selatan. Luas provinsi Aceh 55.380 km², terletak antara 95° BT sampai dengan 98° BT dan 2° LU sampai dengan 6° LU. 18 Kabupaten, 5 Kodya/Kota, 227 Kecamatan dan Kelurahan/desa 5.862, Suku bangsa Aceh, Gayo, Alas, Aneuk jamee, Melayu tamiang, Kluet dan lain-lain.





BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Budaya Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
a. Suku bangsa di nanggroe aceh Darussalam
Provinsi Aceh terdiri dari 9 suku asli, yaitu Aceh (mayoritas), Tamiang (Kabupaten Aceh Timur Bagian Timur), Alas (Kabupaten Aceh Tenggara), Aneuk Jamie (Aceh Selatan), Naeuk Laot, Semeulu, dan Sinabang.
Penduduk aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa. Leluhur orang aceh berasal dari semennajung Malaysia, Cham, Cohcin Ciana, dan Kamboja.
      Disamping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, diantaranya:
1. Bangsa Arab
2. Bangsa India
3. Tiongkok
4. Bangsa Persia
5. Bangsa portugis
Adapun adat istiadat masyarakat aceh diantaranya adalah:
Bercocok tanam
 bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni panglima uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti petua seuneubôk, keujruen blang, pawang glé, dan sebagainya.
Dalam sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi petua seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu sendiri. Maka fungsi petua seuneubôk menjadi penting dalam menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap keujruen blang.
Membuka Lahan
bagi masyarakat Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan masyarakat Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai (alue).
Pantangan
Selain itu, dalam adat Aceh dikenal pula sejumlah pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu seperti peudong jambô. Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang, jambô tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena ditakutkan akan mengundang ular masuk ke jambô tersebut.
Ada pula pantang daruet yang maksudnya anggota suneubôk dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada tunggul pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh terdapat pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena orang Aceh kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan “hari-hari agama”.
Aceh juga mencatat sejumlah larangan atau pantangan dalam perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar durian muda, meracun ikan di sungai atau alue, berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan seuneubôk, mengambil hasil tanaman orang lain semisal buah rambutan, durian, mangga, dll. walaupun tidak diketahui pemiliknya, kecuali buah yang jatuh. Larangan tersebut tentunya menjadi cerminan sikap kejujuran dalam kehidupan di bumi yang mahaluas ini.
Adat Bersawah
Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat sejumlah ketentuan demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam. Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda oleh keujruen blang.

b. Rumah Tradisional

Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Rumah tradisional lainya yaitu Rumoh cut Meutia rumah ini mempunyai 16 tiang sanggah, berdinding kayu, berukir khas aceh dan mempunyai keunikan pintu masuk terletak dilantai. Fungsi pintu ini agar orang sulit masuk kerumah tersebut. Konon hal ini berfungsi untuk keamanan.

c. Senjata tradisional

Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang)

d. Makanan Khas

Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh
e. Agama
Mayoritas penduduk di Provinsi Aceh memeluk agama Islam yang mencapai 97,6%. Sedangkan agma lain seperti kristen 1,7%, Hindu 0,08% dan Budha 0,55%


3.2 Karya Seni Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana provinsi lainya di Indoanesia merupakan salah satu daerah yang kaya akan kebudayaan. Sejarah talah membuktikan semenjak adanya kerajaan-kerajaan kecil dimasa silam sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya hingga dewasa ini Aceh tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan bahkan nilai-nilai budaya ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh.
Di provinsi Aceh mempunyai beberapa macam seni, diantaranya:
a.      Seni musik
Walaupun musik tradisional masih tetap dipelihara, dikembangkan dan dipagelarkan oleh pecinta dan pendukung-pendukungnya sampai dewasa ini namun tidak mungkin akibat adanya unsur-unsur luar/kebudayaan luar, nilai-nilai budaya Aceh akan menjadi suram ataupun mungkin menjauh / menghilang dalam masyarkat.
Adapun jenis-jenis Alat musik di NAD antara lain:
1.             Arbab
2.             Bangsi Alas
3.             Serune kalee (Serunai
4.             Rapai
5.             Geundrang
6.             Tambo
7.             Takatok Trieng
8.             Beareguh
9.             Canang
10.         Celempong
b.     Seni tari
Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam, seperti tari Rateb Meuseukat dan tari Saman, Tari-tarian di provinsi Aceh diantaranya :
1.            Tari Laweut
2.            Tari Likok Pulo
3.             Tari Pho
4.            Tari Ratéb Meuseukat
5.             Tari Seudati
6.            Tari Saman
7.            Tari Bines
8.            Didong
9.            Tari Guel
10.        Tari Ula-ula Lembing
11.        Tari Mesekat
c.      Seni Sastra
Dalam seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa Aceh, Bahasa Gayo, Aneuk jamee, Tamiang dan Samelue. Seni sastra yang terkenal adalah:
1.                Bustanussalatin
2.                Hikayat Prang Sabi
3.                Hikayat Malem Diwa
4.                Legenda Amat Rhah manyang
5.                Legenda Putroe Nen
6.                Legenda Magasang dan Magaseueng
3.3 Corak Sosial Budaya Masyarakat Aceh
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hidup adat istiadat melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingakah laku warga masyarakat bersendikian hukum syariat Islam. Penerapan syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan, syariat Islam sudah melekat kedalam diri masyarakat Aceh.
      Sejarah menunjukan bagaimana  Rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat yang terhromat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dengan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 mengenai penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No. 11 Tahun 2006 mengenai Pemerinthan Aceh, tercantum bahwa dalam bidang Al Syakhsiyah (masalah kekeluargaan seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah, pengasuh anak dan harta bersama), mu’amalah (masalah tata cara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari), dan jinayah (kriminalitas) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan qanun (peraturan daerah).
      Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas di sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.